Kamis, 04 April 2013

Surat Rindu untuk Ibu



Mama, biasa aku memanggilnya dengan kata itu. Wanita tercantik yang sampai detik ini bertahta dalam hidup. Berada dalam pelukannya adalah hal yang paling berharga. Sangat nyaman dan enggan untuk beranjak. Kutitipkan surat ini, diantara milyaran surat lain. Surat-surat yang tak sempat tersampaikan, curahan hati sang pemilik yang tertuang bagi khalayak, berbagai macam rindu yang terlalu berat. Satu diantaranya adalah milikku.

Aku ingin memanggilmu Ibu, agar putrimu ini tak secengeng seperti bagaimana dia berucap mama. Yang menjungjung tinggi perasaan, yang mudah tersinggung, yang ingin ini-itu, yang amat jauh denganmu, Ibu. Tiada hari bagiku, selain mengeluh, dan menangis itu bak hal yang terjadwalkan. Apa mungkin dengan selemah ini aku bisa menjadi apa yang Ibu harapkan?

Ibu selalu terbangun di tengah malam, apakah disetiap doa itu adalah memintaku menjadi orang yang lebih tegar? Iyakah bu?apakah disetiap nafasmu mengharapkan agar aku menjadi pribadi yang selalu yakin? Mengapa, mengapa harus orang ini? Mengapa tidak Ibu doakan agar Ibu bahagia, mengapa tak Ibu fikirkan dirimu.

Seketika memori itu kembali hadir, kala dimana Ibu terus memintaku untuk bercerita, Ibu yang mengharapkan putri kecilnya berbagi tentang bagaimana ia melewati hari. tanpa pernah sekalipun Ibu ingat bagaimana kerasnya aku menolak. Aku sekarang mengerti, itulah cara terkasar seorang Ibu mengungkapkan bahwa dia ingin dihargai.

Bu, ternyata tiada manusia yang sepertimu. Hanya Ibu yang bersedia mengorbankan perasaannya demi orang lain. Disini, betapa sulitnya menemukan orang yang tidak mau rugi. Sekedar mendengarkan saja mungkin sulit. Untuk sekedar mengatakan “sudah makan?”, tidak ada. Ibu bisa lihat sekarang, putrimu hanya berteman tulisan untuk mencurahkan perasaannya. Sahabat-sahabat disini terlalu sibuk dengan segala urusan mereka. Beberapa diantara mereka sibuk dengan urusan akademik, penelitian, “teman lain”, bahkan yang setiap harinya punya beberapa agenda rapat.

Bu, masih ingatkah, betapa takutnya aku dengan kegelapan? Tapi ternyata, aku lebih takut jika tanpa Ibu. Hanya Ibu, sahabat terbaik yang aku miliki, dan betapa kalutnya aku saat ini, lebih terasa berat karena jarak kita yang tak berpihak.

Hari ini berat Bu, aku merasa menjadi orang yang tak berguna, yang keberadaannya tidak berharga, merasa terbuang, dan perasaannya semakin menjadi-jadi saja saat ini. Orang-orang terlalu kasar untuk orang sepertiku Bu...

Untukmu, guru terhebat, sahabat terbaik, pribadi yang lembut, aku hanya bisa merindukanmu...
Ibu