Selasa, 15 Maret 2016

[25] [27]



Kamu berada di tenggara sedangkan aku di barat. Tetapi, aku dapat mendengarmu bicara, bercanda, dan tertawa. Aku tau kapan kamu tidur atau terjaga. Ada disana atau beranjak. Melangkah perlahan atau berlari. Aku tau, karena kita terpaut 200 cm saja.

Aku lelaki 24 tahun. Bekerja pada perusahaan swasta di dekat sini. Baru pindah dan bertemu denganmu. Kita pernah saling tersenyum canggung ketika itu. Seringnya aku berlagak tak melihat, saking gugup jantungku kencangnya berdegup.

Aku selalu percaya setiap pertemuan sudah direncanakan, selalu ada hikmah, selalu ada cerita, skenario indah dari-Nya. Bertemu denganmu, seperti menjemput takdirku. Dan sungguh aku meyakininya.

Sebelum berangkat bekerja, aku berharap melihatmu. Begitupun ketika ku pulang. Tersenyum canggung tak mengapa bagiku. Walaupun akhirnya aku tau, waktu kita berbeda. Siang bagimu adalah malam bagiku. Sulit bertemu.

Malam itu sepulang bekerja, aku kaget bukan main. Tak kulihat sepatu-sepatu milikmu, yang biasa berderet rapi didepan pintu. Kupikir hanya pergi untuk sementara. Ternyata agak lama.

Sedih, sudah pasti. Belum sempat mengenal, tapi hati kepalang yakin. Kini, tetap saja aku percaya kita akan bertemu suatu saat. Ketika aku dan kamu pantas, sama-sama pantas. Aku masih merasa kamu takdirku.


16 Maret 2016
Kubus kecil, Jakarta




Terbuang




Disana, entah 6x6 atau seberapa. Terperangkap dalam kubus kecil dengan terpaan segar angin pantai menelusup lewat celah jendela. Jika ini pantai, maka tentu kalimat selanjutnya adalah deruan ombak. Padahal deruannya tak pernah sampai di telinga Rani. Jelas saja, wanita 40-an itu tuli tak ketulungan. Buta pula.

Senja. Oh tidak! Senja masih tampak indah untuk segala kemuraman miliknya. Habis pikir aku dibuat wanita itu. Kalut, kusut, kacau untuk sekedar peduli memikirkannya. Untuk mengatakn anomali sungguh terlalu kurang ajar. Sekali kucoba menghampirinya. Ia tetiba berbicara, sederet kalimat keluar begitu saja. Tanpa ada tanya. Gaya bicaranya amat tenang tanpa gelombang, menentramkan. Tatapannya menyejukkan. Tapi untuk mengerti apa yang dibicarakannya, aku perlu merenung 3 hari 3 malam. Dan tak kuasa aku simpulkan. Semacam bahasa langit atau dari gua tanpa lubang masuk-keluar. Tidak konkret, jauh dari nalarku.

Hanya sekali itu aku mendengar suara Rani. Wanita 40-an tahun itu kini berbaring kaku dalam keranda. Tanpa keluarga terlebih kerabat. Diantarkan Pak RT dan para tetangga ke tempat persinggahan terakhirnya.


Siapa ini yang ada bersamaku, perlukah kita bicara, sementara hanya engkau yang mampu menikmati perbincangan ini. Saya hanya diijinkan-NYA untuk mengenal diri sendiri, bicara pada diri sendiri. Bertanya kemudian saya jawab sendiri. Apakah disini, di dunia ini, ada pesan yang dapat sampai tanpa perlu bicara, tanpa perlu didengar. Cukup dari hati ke hati. Dapatkah perkataan menjadi sebuah perhatian, tanpa perlu penegasan. Sudahkah kita berdamai dengan nurani, bertanya padanya dan peduli terhadapnya. Saya tidak keberatan dengan kesendirian disini.

15 Maret 2016
Kubus kecil, Jakarta




Kamis, 03 Maret 2016

Men to the left, because women are always right !


Tittle : Men to the left, because women are always right !
Location : Ed'spresso cafe, Jl. Tirto Agung No. 12, Semarang

Description :
Let me tell you the secret about this charge. IMHO, this statement is possibly right when a woman on her periods. PMS is one thing which always be connected with it. Something that brings physical and psychological symptoms. Make woman more unpredictable, angry without a cause, become more sensitive, do anything after her own heart, and creepy like a pufferfish in danger. Khkhkh. But sometimes, when I on my periods, I became more diligent. Cleaning the bathroom, washing the clothes, and purify this country of the fraudsters, traitors, and corruptors. 
I mean it! Give me five!

[CMIIW]