Kamu berada di tenggara
sedangkan aku di barat. Tetapi, aku dapat mendengarmu bicara, bercanda, dan tertawa.
Aku tau kapan kamu tidur atau terjaga. Ada disana atau beranjak. Melangkah
perlahan atau berlari. Aku tau, karena kita terpaut 200 cm saja.
Aku lelaki 24 tahun. Bekerja
pada perusahaan swasta di dekat sini. Baru pindah dan bertemu denganmu. Kita
pernah saling tersenyum canggung ketika itu. Seringnya aku berlagak tak
melihat, saking gugup jantungku kencangnya berdegup.
Aku selalu percaya setiap
pertemuan sudah direncanakan, selalu ada hikmah, selalu ada cerita, skenario
indah dari-Nya. Bertemu denganmu, seperti menjemput takdirku. Dan sungguh aku
meyakininya.
Sebelum berangkat bekerja, aku
berharap melihatmu. Begitupun ketika ku pulang. Tersenyum canggung tak mengapa
bagiku. Walaupun akhirnya aku tau, waktu kita berbeda. Siang bagimu adalah
malam bagiku. Sulit bertemu.
Malam itu sepulang bekerja, aku
kaget bukan main. Tak kulihat sepatu-sepatu milikmu, yang biasa berderet rapi
didepan pintu. Kupikir hanya pergi untuk sementara. Ternyata agak lama.
Sedih, sudah pasti. Belum sempat
mengenal, tapi hati kepalang yakin. Kini, tetap saja aku percaya kita akan bertemu suatu
saat. Ketika aku dan kamu pantas, sama-sama pantas. Aku masih merasa kamu
takdirku.
16 Maret 2016
Kubus kecil, Jakarta