Selasa, 02 Februari 2016

Kembar Menggemaskan

ungu : Triani Hartika Suri | Coklat : Triana Dewinta Sari


Adik ketiga dan keempatku, mereka lahir pada hari yang sama hanya berselang setengah jam kira-kira. Kembar tapi beda. Beda rupa dan sifatnya. Beda hobi, kesukaan, cara berpakaian, cara belajar, dan beda lain-lainnya. Yang pasti keduanya sangat cantik dan sangat saya sayangi.

Kini, tersisa beberapa bulan lagi bagi mereka untuk menyelesaikan segala proses pendidikan di sekolah dasar. Satu waktu, ketika saya pulang, mereka sedang di penghujung liburan semester, dan berkata “tegit nanti teteh sama dede kenaikan kelas gimana?, harus pakai kebaya, terus dimake up, gak mau di make up sama itu takut terlalu tebal”. Keduanya saling dukung, saling membenarkan ketika salah satu diantaranya menyampaikan pendapat. “tegit nanti teteh Triana mau masuk pesantren, Dede mah gak mau katanya mau ke SMP itu”. Loh, bagaimana bisa keduanya yang dibesarkan bersama sejak lahir, sekamar berdua, kakak beradik sekaligus sahabat kecil kemudian akan berjalan pada pilihan masing-masing. Sebenarnya ada alasan lain dari keraguan itu, tapi biarlah kami menyimpannya.


Tegit teteh mau hafal Al-quran”, pernyataan berikutnya yang sungguh mengejutkan. Saya dibuat terharu dan tergetar. Saya masih ingat bagaimana Triana mengucapkannya dengan lantang dari bibir mungilnya, penuh percaya diri, dan mata yang berbinar. Saya memperhatikan dengan antusias. Obrolan pun berlanjut kearah seputar kehidupan pesantren, sekolah mana yang ia ingin, browsing banyak hal, dan kami pun membuat berbagai rencana, termasuk mulai menghafal Al-Quran.


Saya rasa, saya telah melewatkan banyak hal, terutama kebersamaan dengan keluarga. Ketika SMP, saya tinggal di asrama dan hanya diperbolehkan pulang sebuan sekali (itupun dengan banyak syarat). Ketika SMA, waktu saya banyak dihabiskan dengan kegiatan sekolah dan bermain bersama teman sebaya. Terlebih kuliah, selama kurang dari 4 tahun merantau di Semarang, saya hanya bisa pulang sekitar 8 kali. Mungkin hal inilah yang menyebabkan saya terkejut dengan banyak perubahan ketika kembali pulang. It’s so regretful.

Here, I have to express how much I miss and worry about them. Rindu, ketika saya di asrama dulu, mereka datang bersama Ibu untuk menjenguk. Berlarian kearahku dengan senyum lebar masing-masing. Membawa banyak makanan, minuman dan beberapa pakaian yang sudah rapi. Rindu, ketika mereka masih menjadi siswi taman kanak-kanak, mengenakan kemeja-rok kotak-kotak merah dilengkapi dasi pita imut dilehernya, atau seragam olahraga kuning yang cerah, lengkap dengan wajah riangnya. Keduanya sangat aktif berkegiatan dan selalu terlibat dalam perlombaan. Saya sampai cekikikan sendiri membayangkan betapa menggemaskannya mereka saat upacara kemerdekaan Indonesia di kecamatan kami, berseragam polwan berbaris dalam kelompok marching band, pipinya kembang-kempis meniup pianika. Sering, keduanya menjadi pasangan mc yang menarik dan menuai pujian. Rindu, bagaimana Triana berlatih membaca puisi untuk dilombakan, suaranya yang tipis dan nyaring terlihat sekali berusaha maksimal sampai terdengar sedikit parau. Rindu, sepulang sekolah mereka berlarian, mengucapkan salam, mencium tangan, dan dilanjutkan dengan cerita-cerita yang terjadi di sekolah hari itu. Kemudian pada suatu hari, sedikit lemas dari biasanya, dengan mata berkaca, Triani berkata “Tegit dede gak jadi ikut lomba menggambar, padahal Dede sudah berlatih di kantor guru beberapa hari ini, tapi akhirnya Dede tidak terpilih”. Benar-benar penyampaian yang natural dari sebuah kekecewaan yang dialaminya. Saya segera merangkul dan memeluknya sembari menenangkan. Saya akui, Triani memang prestisius, semasa TK, Triani terkenal piawai dalam bidang menggambar dan mewarnai. Menjuarai berbagai lomba dan membawa pulang piala untuk diduplikat.





Kini, masih dalam paket rindu yang sama, untuk tujuan yang sama pula, saya menyelipkan berbagai kekhawatiran bersamanya. Berbagai perubahan sudah semakin tampak dari keduanya. Candu akan gadget, menjadi korean addict, yang paling menyedihkan adalah, ketika saya tahu bahwa mereka sedang tidak berterus-terang.

Rasanya, saya ingin menjalani banyak waktu bersama adik-adik, ikut menjaga dan membimbing mereka, menjadi teman berbagi, mendengarkan lebih banyak cerita darinya dan menceritakan apa yang patut diperdengarkan kepadanya, mnengotak-atik rambutnya, menyuruh mereka memandikan kucing galak (pada akhirnya, Yoga lah yang jadi korban cakaran), merasakan masakan eksperimennya (yang teman-teman pasti kagum dengan rasanya), lalu makan sepiring bertiga, sampai akhirnya sekasur bertiga.



Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh.. I really really really miss them. Miss their smile, miss their smell, miss everything of them, all the time.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar