ungu : Triani Hartika Suri | Coklat : Triana Dewinta Sari |
Adik
ketiga dan keempatku, mereka lahir pada hari yang sama hanya berselang setengah
jam kira-kira. Kembar tapi beda. Beda rupa dan sifatnya. Beda hobi, kesukaan,
cara berpakaian, cara belajar, dan beda lain-lainnya. Yang pasti keduanya
sangat cantik dan sangat saya sayangi.
Kini,
tersisa beberapa bulan lagi bagi mereka untuk menyelesaikan segala proses
pendidikan di sekolah dasar. Satu waktu, ketika saya pulang, mereka sedang di
penghujung liburan semester, dan berkata “tegit
nanti teteh sama dede kenaikan kelas gimana?, harus pakai kebaya, terus dimake up, gak mau di make up sama itu takut terlalu tebal”. Keduanya
saling dukung, saling membenarkan ketika salah satu diantaranya menyampaikan
pendapat. “tegit nanti teteh Triana mau
masuk pesantren, Dede mah gak mau katanya mau ke SMP itu”. Loh, bagaimana bisa keduanya yang dibesarkan bersama
sejak lahir, sekamar berdua, kakak beradik sekaligus sahabat kecil kemudian akan
berjalan pada pilihan masing-masing. Sebenarnya ada alasan lain dari keraguan
itu, tapi biarlah kami menyimpannya.
“Tegit teteh mau hafal Al-quran”,
pernyataan berikutnya yang sungguh mengejutkan. Saya dibuat terharu dan
tergetar. Saya masih ingat bagaimana Triana mengucapkannya dengan lantang dari
bibir mungilnya, penuh percaya diri, dan mata yang berbinar. Saya memperhatikan
dengan antusias. Obrolan pun berlanjut kearah seputar kehidupan pesantren,
sekolah mana yang ia ingin, browsing banyak hal, dan kami pun membuat berbagai
rencana, termasuk mulai menghafal Al-Quran.
Saya
rasa, saya telah melewatkan banyak hal, terutama kebersamaan dengan keluarga. Ketika
SMP, saya tinggal di asrama dan hanya diperbolehkan pulang sebuan sekali
(itupun dengan banyak syarat). Ketika SMA, waktu saya banyak dihabiskan dengan
kegiatan sekolah dan bermain bersama teman sebaya. Terlebih kuliah, selama kurang
dari 4 tahun merantau di Semarang, saya hanya bisa pulang sekitar 8 kali. Mungkin
hal inilah yang menyebabkan saya terkejut dengan banyak perubahan ketika
kembali pulang. It’s so regretful.
Here,
I have to express how much I miss and worry about them. Rindu, ketika saya di
asrama dulu, mereka datang bersama Ibu untuk menjenguk. Berlarian kearahku
dengan senyum lebar masing-masing. Membawa banyak makanan, minuman dan beberapa
pakaian yang sudah rapi. Rindu, ketika mereka masih menjadi siswi taman
kanak-kanak, mengenakan kemeja-rok kotak-kotak merah dilengkapi dasi pita imut dilehernya, atau seragam olahraga
kuning yang cerah, lengkap dengan wajah riangnya. Keduanya sangat aktif
berkegiatan dan selalu terlibat dalam perlombaan. Saya sampai cekikikan sendiri
membayangkan betapa menggemaskannya mereka saat upacara kemerdekaan Indonesia
di kecamatan kami, berseragam polwan berbaris dalam kelompok marching band,
pipinya kembang-kempis meniup pianika. Sering, keduanya menjadi pasangan mc
yang menarik dan menuai pujian. Rindu, bagaimana Triana berlatih membaca puisi
untuk dilombakan, suaranya yang tipis dan nyaring terlihat sekali berusaha
maksimal sampai terdengar sedikit parau. Rindu, sepulang sekolah mereka
berlarian, mengucapkan salam, mencium tangan, dan dilanjutkan dengan
cerita-cerita yang terjadi di sekolah hari itu. Kemudian pada suatu hari,
sedikit lemas dari biasanya, dengan mata berkaca, Triani berkata “Tegit dede gak jadi ikut lomba menggambar,
padahal Dede sudah berlatih di kantor guru beberapa hari ini, tapi akhirnya
Dede tidak terpilih”. Benar-benar penyampaian yang natural dari sebuah kekecewaan
yang dialaminya. Saya segera merangkul dan memeluknya sembari menenangkan. Saya
akui, Triani memang prestisius, semasa TK, Triani terkenal piawai dalam bidang menggambar dan mewarnai. Menjuarai
berbagai lomba dan membawa pulang piala untuk diduplikat.
Kini,
masih dalam paket rindu yang sama, untuk tujuan yang sama pula, saya
menyelipkan berbagai kekhawatiran bersamanya. Berbagai perubahan sudah semakin tampak
dari keduanya. Candu akan gadget, menjadi korean addict, yang paling menyedihkan
adalah, ketika saya tahu bahwa mereka sedang tidak berterus-terang.
Rasanya,
saya ingin menjalani banyak waktu bersama adik-adik, ikut menjaga dan
membimbing mereka, menjadi teman berbagi, mendengarkan lebih banyak cerita
darinya dan menceritakan apa yang patut diperdengarkan kepadanya, mnengotak-atik
rambutnya, menyuruh mereka memandikan kucing galak (pada akhirnya, Yoga lah
yang jadi korban cakaran), merasakan masakan eksperimennya (yang teman-teman
pasti kagum dengan rasanya), lalu makan sepiring bertiga, sampai akhirnya sekasur
bertiga.
Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh..
I really really really miss them. Miss their smile, miss their smell, miss
everything of them, all the time.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar