Kamis, 05 Desember 2013

Menikah atau belum, kalian harus baca yang ini | RodaZaman.info




Ketika aku tiba di rumah malam itu, istriku sedang menyiapkan makan malam. Aku memegang tangannya dan berkata, “Aku ingin membicarakan sesuatu.”
Dia duduk dan makan dengan tenang. Aku melihat ada luka di matanya, namun aku tidak tahu itu apa. 

Aku ingin bicara, tapi aku merasa bingung harus mulai dari mana. Akhirnya aku berkata, “Aku ingin bercerai.”
Dia tampaknya tidak terganggu oleh kata-kataku. Dia hanya bertanya dengan lembut, “Mengapa?”

Aku menghindari pertanyaannya. Hal ini ternyata membuatnya marah. Dia membuang sumpit dan berteriak padaku, “Kau bukan laki-laki!”

Malam itu , kami tidak berbicara satu sama lain. Dia menangis. Aku tahu dia ingin mencari tahu apa yang terjadi dengan pernikahan kami. Tapi aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan.
Aku memiliki Jane sekarang. Aku tidak mencintai istriku lagi. Aku hanya mengasihaninya!

Dengan perasaan yang amat bersalah, aku menulis surat perceraian dimana istriku memperoleh rumah, mobil, dan 30% saham perusahaanku. Ia memandangnya sekilas dan merobek-robeknya!

Wanita yang telah menghabiskan sepuluh tahun hidupnya denganku telah menjadi orang asing. Aku merasa kasihan padanya karena waktu dan energinya sudah terbuang… Tapi aku tidak bisa menjilat ludahku sendiri karena aku mencintai Jane.

Akhirnya ia menangis dengan keras di depanku, seperti yang aku harapkan. Bagiku, tangisannya adalah pembebasan baginya….

Ide perceraian memang telah membuatku terobsesi selama beberapa minggu terakhir ini.

Keesokan harinya, aku kembali pulang larut malam. Aku lihat dia menulis sesuatu di meja. Aku tidak makan, tetapi langsung tidur karena lelah setelah seharian bersama Jane. Ketika aku terbangun, dia masih di posisinya semula. Aku tidak peduli dan tidur lagi.

Di pagi hari dia memberitahu sesuatu yang cukup janggal, sebagai permintaannya sebelum kita bercerai. Dia meminta agar dalam satu bulan sebelum bercerai, kami berdua harus berhubungan seperti biasa. Alasannya sederhana: anak kami akan menghadapi ujian di sekolah. dia tidak ingin mengganggunya dengan kabar buruk.

Dia memiliki permintaan lain lagi. Dia memintaku untuk menggendongnya setiap pagi, seperti saat aku membawanya ke kamar pengantin pada hari pernikahan kami. Dia meminta agar setiap hari selama sebulan aku bisa menggendong dia keluar dari kamar tidur ke pintu depan.

Aku pikir dia sudah gila. Namun, karena ini merupakan hari-hari terakhir kami bersama, aku menerima permintaan yang aneh itu.

Aku bilang Jane tentang hal ini. Ia tertawa keras dan berpikir itu tidak ada gunanya. “Tidak peduli apa trik yang ia lakukan, ia harus menghadapi perceraian ini,” ia mencemooh.

Aku dan istriku tidak pernah berhubungan badan lagi sejak kukatakan perceraian itu secara eksplisit. Jadi ketika aku menggendongnya keluar pada hari pertama, kami berdua tampak canggung.

Anak kami menepuk punggung kami, “Ayah membopong ibu,” kata-katanya melahirkan rasa sakit di hatiku.

Dari kamar tidur ke ruang duduk, lalu ke pintu, aku berjalan lebih dari sepuluh meter dengan ia dalam gendongan tanganku. Dia menutup matanya dan berkata lembut, “Jangan memberitahu anak kita tentang perceraian”. Aku mengangguk, merasa agak kesal.

Aku menurunkannya di luar pintu. Dia pergi untuk menunggu bus untuk bekerja. Sementara aku pergi sendirian ke kantor.

Pada hari kedua, bagi kami terasa lebih mudah. Ia merebahkan diri di dadaku. Aku bisa mencium wangi di bajunya. Aku menyadari bahwa sudah lama aku tidak pernah begitu memperhatikan dia….
Aku melihat bahwa ia tidak muda lagi. Ada kerutan halus di wajahnya. Rambutnya mulai beruban…

Pernikahan kami telah membuatnya jadi korban. Sesaat aku bertanya: apa yang telah keperbuat padanya.

Pada hari keempat, ketika aku mengangkatnya, aku merasakan keintiman itu kembali. Ini adalah wanita yang telah memberi sepuluh tahun hidupnya untukku.
Pada hari kelima dan keenam, aku menyadari bahwa keintiman kami mulai tumbuh lagi. Aku tidak memberitahu Jane tentang hal ini.
Setelah hampir sebulan, menjadi lebih mudah untuk menggendongnya. Mungkin latihan sehari-hari membuat aku lebih kuat.

Suatu pagi dia memilih-milih baju yang akan dikenakan. Lalu ia menghela napas, “Semua gaunku telah membesar.”

Aku tiba-tiba menyadari bahwa tubuhnya begitu kurus. Itulah alasan mengapa aku bisa membopongnya dengan ringan. Sontak aku tersadar, dia telah mengubur begitu banyak rasa sakit dan kepahitan di dalam hatinya. Tanpa sadar aku mengulurkan tangan dan menyentuh kepalanya.

Anak kami masuk pada saat itu dan berkata, “Dad, saatnya untuk membawa ibu keluar.” Baginya, melihat papanya sedang membopong mamanya keluar menjadi bagian penting dari hidupnya. Istriku menunjuk ke anak kami untuk mendekat dan memeluknya erat-erat.

Aku membalikkan wajah sebab aku takut aku akan berubah pikiran pada menit terakhir ini. Aku kemudian membopongnya, berjalan dari kamar tidur, melewati ruang tamu ke teras.

Tangannya merangkul leherku dengan lembut dan alami. Aku menyangga badannya dengan kuat. Persis seperti hari dimana kami menikah. Tapi berat badannya yang semakin ringan membuatku sedih.

Pada hari terakhir, ketika aku memeluknya dalam pelukanku, aku hampir tidak bisa bergerak selangkahpun. Anak kami telah pergi ke sekolah. Aku memeluknya dengan kuat dan berkata, “Aku tidak menyadari bahwa kehidupan kita begitu mesra.”

Aku pergi ke kantor. Melompat keluar dari mobil tanpa sempat mengunci pintu. Aku telah membulaktan tekad dan takut aku akan berubah pikiran. Aku menemui Jane, dan berkata, “Maaf, Jane. Aku tidak ingin bercerai lagi.”

Dia menatapku heran, kemudian menyentuh dahiku. “Kau kenapa?” tanyanya.

Aku lepaskan tangannya dari dahiku. “Aku tidak ingin bercerai,” kataku. Aku lalu bercerita kalau kehidupan rumah tanggaku berantakan bukan karena kami tidak saling mencintai lagi, tapi karena kami kurang menghargai detail-detail dalam kehidupan kami…

Sekarang aku menyadari bahwa sejak aku membawanya ke rumah pada hari pernikahan kami, aku seharusnya memeluknya sampai kematian memisahkan.

Jane terlihat kaget. Dia menamparku dengan keras dan membanting pintu. Ia menangis. Aku menuruni tangga dan pergi.

Di toko bunga di jalan, aku membeli karangan bunga untuk istriku. Pramuniaga bertanya kata-kata apa yang ingin kutulis dalam kartu. Aku tersenyum dan menulis, “aku akan menggendongmu setiap pagi sampai kematian memisahkan kita.”

Malam itu aku tiba di rumah, bunga di tanganku, senyum di wajahku. Aku berlari naik tangga hanya untuk menemukan istriku di tempat tidur. Dia meninggal!

Tanpa aku ketahui, ternyata istriku telah berjuang selama berbulan-bulan melawan kanker sementara aku begitu sibuk dengan Jane. Dia tahu bahwa dia akan segera meninggal dan ia ingin agar anakku tidak menyalahkan aku karena ingin bercerai. Setidaknya, di mata anak kami, aku sadalah uami dan ayah yang penuh kasih…




#Inggrit #Amedia #InggritAmedia #menikah #cerita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar