Program superintensif
sebuah lembaga bimbel cukup menarik perhatianku saat itu, tahun 2011 menjelang
penerimaan mahasiswa baru. Bersama tujuh orang kawan kelasku (Juwita, Ema, Rahmi,
Ria, Novi, Resa, dan Ratna), kami tinggal disebuah rumah kos yang kebetulan
strategis, sayangnya hanya ada satu kamar kosong disana, alhasil sebagian dari
kami ada yang ikut dikamar kakak tingkat. Aku salah satunya. Namanya Rabiatul
Adawiyah, biasa dipanggil Ka Ajeng. Seorang mahasiswa FKM UI yang ramah, murah
senyum, ceria, dan sepertinya aktivis kampus. Mulanya canggung, namun
keramahannya mencairkan suasana.
Ka Ajeng begitu
baik, dia memperlakukan kami layaknya adik sendiri. Pengalaman yang dia
ceritakan sedikit banyaknya menginspirasiku. Sikapnya mengenalkan sesuatu yang
tidak aku punya, sosok seorang kakak. Dalam waktu satu bulan bersama ka Ajeng,
banyak hal yang dia ajarkan, tentu saja tidak terlepas dari bersenang-senang. Ka
Ajeng benar-benar menyenangkan. Itulah kalimat penegasan dariku tentang sosok
ka Ajeng yang tak bisa dideskripsikan dengan kalimatku.
Setengah sadar
aku terbangun, ka Ajeng membangunkanku untuk salat Subuh. Biasanya selesai
salat, kami langsung merebah kembali untuk melanjutkan tidur. Namun kali ini
berbeda. Dia tiba-tiba berkata “untuk
apa kita kuliah?” aku tertegun. Kala itu aku hanyalah seorang siswi SMA
yang belum terlalu mengerti perkuliahan. Ka Ajeng melanjutkan kalimatnya “menjadi
seorang mahasiswa itu berat” kupandangi wajahnya yang sedikit
menengadah kelangit-langit kamar.
“susah payah kita mendaftar di perguruan
tinggi, berkompetisi dengan jutaan orang cerdas lainnya, pengumuman hasilpun
kadang tak sesuai harapan, kemudian kita diterima, apakah kita bersenang-senang?”
Sebuah bulir
bening perlahan jatuh dari matanya...
“untuk mendapat gelar sarjana tidak semudah
itu, kita harus beradaptasi ditahap awal, kita mencoba mengerti sistem yang
berlaku, kita lakukan apapun yang terbaik, mungkin suatu ketika kita akan
lelah, yah, lelah dengan tuntutan untuk seorang mahasiswa yang begitu hebat,
orang-orang disana membutuhkan kita, mereka berharap banyak pada kita, kita
kuliah untuk siapa sebenarnya?
“kemudian setelah lulus, kita harus bisa bersaing
dengan puluhan juta orang untuk duduk disebuah kursi kerja, dan perjuangan
takkan berakhir sampai disana”
Kalimat tadi
membuatku memutar otak, bertanya pada diri sendiri, itu membuatku bingung,
namun satu kalimat penutup yang diucapkannya cukup menerangi jalan gelap tanpa arah saat itu,
“kamu akan berfikir seperti itu jika kamu
hanya melihat dari sisi lelahmu, semakin kamu bisa melewati setiap tahapnya,
kamu akan menjadi orang yang lebih tangguh, percayalah”
Kemudian melanjutkan
tidur.
#Inggrit #Amedia #InggritAmedia #kata #sepenggal #dialog #bada #subuh
#Inggrit #Amedia #InggritAmedia #kata #sepenggal #dialog #bada #subuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar